Kenaikan BBM Tidak Pernah Dibarengi Dengan Kenaikan Harga TBS

Mukomuko, Lintaspenjuru.com – Upaya pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium dinilai akan menyengsarakan petani kelapa sawit dan buruh perkebunan hingga masyarakat adat. Naiknya BBM juga akan menambah angka kemiskinan. Tentu saja, karena selama beberapa periode kekuasaan pasca reformasi, kenaikan harga BBM tidak pernah diikuti dengan kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang di hasilkan petani sawit. Pasalnya, dampak lanjut dari kenaikan BBM ini bagi petani kelapa sawit akan memperbesar biaya indek K atau potongan pabrik untuk TBS milik petani. Dalam rangka biaya pengolahan dan pengangkutan Crude Palm Oil (CPO) yang diatur dalam penentuan harga Komoditas kelapa sawit. Dan itu menguntungkan perusahaan perkebunan.

“Jika ingin melihat implikasi dari kenaikan harga BBM tersebut pada petani yang menghadapi Ketimpangan agraria, seperti masyarakat dalam perkebunan tentunya dapat menciptakan kemiskinan baru. Karena dalam proses ini, pengusaha perkebunan akan melibatkan petani sawit menanggung biaya tinggi dari kenaikan BBM tersebut melalui Indek K,” ujar Sekretaris LSM Rumus Institute Mukomuko, Rusman Aswardi.

Menurutnya, dengan kenaikan harga BBM sudah dipastikan membengkaknya biaya ongkos pengangkutan tandan sawit dari kebun ke pabrik. Belum termasuk biaya lainnya yang harus dikeluarkan para petani, seperti misalnya upah Panen dan harga pupuk. Ditambah lagi kondisi jalan yang rusak dalam rangka pengangkutan buah sawit akan berpengaruh pada naiknya transportasi pengangkutan. Petani swadaya akan semakin terpuruk karena harga sawit akan ditentukan oleh tengkulak.

“Sudah jelas para tengkulak akan menentukan harga lebih rendah lagi dari pabrik. Karena proses pengangkutan dan kondisi jalan yang kurang memadai, apalagi di wilayah pedalaman yang masih minim infrastrukturnya,” tegasnya.

Selain itu, kata Rusman, kenaikan BBM ini juga bisa berdampak pada buruh perkebunan yang status nya buruh harian lepas atau buruh Kontrak. Alagi upah buruh kontrak belum sesuai dengan standar kehidupan layak. Karena standar upahnya selalu berada di bawah UMR (Upah Minimum Regional). Menurutnya, kehidupan buruh harian lepas atau kontrak ini belum mendapatkan perhatian dari pemerintah ataupun perusahaan perkebunan yang mempekerjakannya. Biaya transportasi dan biaya kehidupan sehari-hari dan peralatan pekerjaan di biaya sendiri oleh buruh.

“Sehingga, kenaikan harga BBM selain menurunkan daya belinya juga berpengaruh kepada nasib masa depannya dan hilangnya pekerjaan,” ucapnya.

Sambungnya, situasi konflik dalam perkebunan kelapa sawit yang terjadi selama ini harus menjadi sebuah pertimbangan tersendiri bagi pemerintah untuk masa depan kehidupan petani sawit dan buruh perkebunan. Sesungguhnya, perkebunan kelapa sawit sebagaimana yang dicitrakan oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat belumlah teruji dan masih pepesan kosong.

“Bukan tidak mungkin, kenaikan harga BBM akan mempengaruhi secara langsung rumah tangga kehidupan petani dan buruh perkebunan. Dan tentunya kondisi itu akan memancing konflik dalam perkebunan yang lebih besar,” katanya. (leon)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *